Oleh : Muhammad Ikram
Pendidikan di era Liberalisme kini tidak
dapat dipisahkan dengan industri. Selain dari menjelmanya institusi
pendidikan/PTN sebagai industri yang menyediakan jasa yang mahal, pendidkan
juga telah membuat suatu standarisasi seperti nilai yang dikuantifikasi,
PTN beserta Subsistemnya seperti
departemen semua distandarisasi, melalui akreditasi membuat mekanisme
pendidikan sarat akan hegemony dan citra. Mirip seperti yang dikatakan oleh
Herbert Marcus, era kapitalisme global memungkinkan penguasa untuk menciptakan
citra, menyebarkan bahasa struktural dan memotong adanya pemahaman sejarah yang
dapat memicu munculnya pemikiran yang dialektis. Hal demikian sangat
memungkinkan penguasa membuat orang-orang larut kedalam sistem yang sedang
berlangsung tanpa sadar iklim pendidikan sangat dominan dijadikan hanya sebagai
penopang industri untuk menyediakan buruh murahan, bukan tenaga ahli ataupun
ilmuan yang mampu memberikan solusi atas permasalahan bangsa ini. hal ini bisa
kita amati mentalitas mahasiswa yang berorientasi gelar daripada proses yang
membuat dirinya berkualitas. Serta institusi pendidikan yang lebih senang
menyerap kapital dari pada memberikan
manfaat di masyarakat. Akhirnya pendidikan kini hanya sebagai arena yang
menciptakan manusia terasing dalam sistem kapitaisme ditengah globalisasi.
Pendidikan
tinggi yang terkooptasi oleh pasar perlu mengamalkan logika pasar pula. Ujud
dan wujud investasi serta logika quality-based yang sewajarnya melatarbelakangi
kompetisi dan perebutan akreditasi ditujukan untuk human capital. Relasi sosial
yang membutuhkan logika pasar ini lalu yang termakhtubkan di serangkaian
kebijakan neoliberalisasi sektor pendidikan, termasuk PTN-BH yang hari ini
UNHAS bangga-banggakan. Konsekuensi PTN-BH bukan sekedar dramatisnya kenaikan
UKT dan sewa aset (terutama sewa kantin mace-mace), namun juga ‘pemposisian’ lembaga kemahasiswaan dalam skema yang
‘jinak’ dan ramah akreditasi plus citra. Hal itu ditandai bagaimana kampus
lewat tindakan non represifnya kemudian mengeluarkan sebuah aturan tentang
organisasi kemahasiswaan yang pada dasarnya mengancam indenpendensi Lembaga
kemahasiswaan. Harus dipahami PR Ormawa ini dibuat tidak terlepas dari
pemantapan sistem, untuk penyempurnaan
dari status yang diperoleh Unhas saat ini yaitu PTNBH. Sekiranya kita telah
bersepakat bahwa PTNBH merupakan sistem untuk agenda liberalisasi sektor
pendidikan.
Pasca
pengesahan dan diberlakukannya PR ORMAWA ini, beberapa lembaga mahasiswa telah
mengalami tindakan tegas oleh pihak birokrasi kampus. Seperti yang dialami oleh
salah seorang kawan yang tak ingin disebutkan namanya, ia mengaku bahwa
lembaganya pernah didatangi oleh WR3 (Pak Cido) dan mengirimkan langsung surat
yang berisi ancaman pembubaran organisasi jika tidak segera melakukan MUBES dan
pergantian badan kepengurusan sebelum akhir tahun 2018. Kejadian tersebut
merupakan bagian kecil dari ancaman bagi lembaga-lembaga mahasiswa yang tidak
mau tunduk dan ikut aturan. Hal tersebut harusnya tidak terjadi, di mana seharusnya
lembaga mahasiswa memiliki kedudukan sebagai mitra kritis kampus yang diberikan
ruang untuk beraktivitas dan berkreativitas bagi pengembangan diri dan
intelektual mahasiswa.
Hal
serupa nyaris dilakukan oleh WR3 yang baru, yaitu Pak Arsunan yang akrab
dipanggil prof Cunan. Diawal masa jabatannya setelah menggantikan Pak Cido, ia
telah disibukkan oleh usahanya dalam membentuk BEM-U sebagai suatu mekanisme
yang diatur dalam PR ORMAWA. Setelah terbentuknya BEM-U yang diusungnya, tentu
akan membantu dan mempermudah aktivitasnya dalam mengontrol lembaga-lembaga
mahasiswa yang ada di kampus.
Hari
ini, , implementasi dari PR ORMAWA sudah secara terang-terangan mengusik
kedudukan lembaga-lembaga mahasiswa yang ada di kampus. Hal itu dibuktikan
dengan adanya beberapa Lembaga kemahasiswaan seperti Bem kema Pertanian Unhas
yang tidak memberikan surat pernyataan terkait sikap menerima Aturan organisasi
kemahasiswaan dengan berbagai analisis persoalan yang dilihat dari motif
dihadirkan sampai disahkannya aturan Ormawa. Ternyata hal tersebut menjadi
boomerang bagi bem kema Pertanian Unhas Pasalnya, setelah keluarnya pernyataan
dan surat penegasan terkait penolakan aturan rektor tentang Organisasi
Kemahasiswaan,sejak itu pula pihak Fakultas yang di isi oleh para Stake Holder tidak lagi memberikan
penjaminan dan pemberian dalam bentuk fasilitas kampus serta hal yang sifatnya
administratif karena dinilai bahwa bem Kema Pertanian Unhas tidak ingin
mengikuti aturan rektor. Hal itu pula dirasakan oleh beberapa himpunan yang ada
di Fakultas Pertanian yang tidak mendapatkan izin kegiatan dan fasilitas yang
ada difakultas seperti peminjaman ruangan, perizinan kegiatan dan rekomendasi berupa persetujuan
kegiatan. Dan anehnya lagi seketika itu pula, para pemangku kepentingan
ditingkat fakultas selalu menggiring kepada pewacanaan untuk menerima Aturan
Ormawa ini dan dibumbui pula dengan Konteks BEM Universitas.
Hal ini sangatlah ironis. Terutama ketika
kita mengingat kembali bahwa kampus adalah ruang dimana gagasan diciptakan.
Marx dalam teks Fragment on Machine mendirikan suatu konsep “kecerdasan umum”
atau general intellect. Marx bermaksud menjelaskan general intellect sebagai
seperangkat pengetahuan, kompetensi, kemampuan linguistik dan cara-cara
melakukan sesuatu dalam masyarakat, namun semakin tersedia dalam takar yang
berbeda-beda banyak kurangnya di “setiap orang”. Dan ini terjadi apabila
aktivitas intelektual tersebut menjadi the true mainspring of the production of
wealth (menjadi dorongan utama dalam produksi kekayaan).
General Intellect atau kecerdasan umum yang
dimaksudkan Marx, diterjemahkan oleh Boutang sebagai modalitas intelektual. Institusi
pendidikan hari ini mengkomodifikasikan modal intelektual ini. Semakin modal
intelektual tersebut bersesuaian dengan kualifikasi pasar, semakin mahal biaya
yang perlu dibayar dan (tentunya) semakin sempit akan akses tersebut. Kampus
hari ini mereplikasi sifat dan karakteristik pabrik yang market oriented.
Proses belajar-mengajar bukan lagi ruang kritis, melainkan proses ‘produksi’
nilai intelektual yang punya nilai-guna dan nilai-tukar di dalam pasar. Di
titik ini, mahasiswa menjadi subjek yang paradoks, dimana bekerja di kampus
layaknya buruh namun juga sekaligus ‘perantara’ nilai intelektual yang tidak
dibayar (sebaliknya malah membayar) oleh pasar. Pemikiran dan tindakan kritis yang
mengkritisi kampus dan embel-embelnya akan dicap sebagai sebuah gerakan radikal
yang keberadaannya harus dibasmi dari kampus. Bagi yang suka menyuarakan
pendapat lepas, baik di jalanan atau pun di atas kertas takkan pernah lepas
dari dikte kampus. Di bawah kontrol birokrasi, kampus tak lagi demokratis.
Kampus akan berubah jadi semakin represif, di mana akan banyak korban berdarah
di kampus yang merah ini. Tak akan ada lagi istilah Gerakan Mahasiswa karena
semua berada dibawah kontrol yang ketat. Pada waktunya, setiap lembaga
mahasiswa akan diarahkan sebagai wadah pembentukan karakter mahasiswa yang
berjiwa kompetitif saja, kreatif dan inovatif dengan fikiran yang seragam
berdasarkan kurikulum hafalan, di mana hal itu tidaklah sepenuhnya salah, tapi
seperti sebuah kalimat yang mungkin saja pernah kita dengar “memaksa orang
untuk kritis adalah tidak kritis sama sekali”, maka kampus tak sepatutnya
memaksakan hal tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar