Blog Resmi Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin

Laman

Senin, 05 Agustus 2019

Intervensi Lembaga Kemahasiswaan


 Oleh : Muhammad Ikram          




     

Pendidikan di era Liberalisme kini tidak dapat dipisahkan dengan industri. Selain dari menjelmanya institusi pendidikan/PTN sebagai industri yang menyediakan jasa yang mahal, pendidkan juga telah membuat suatu standarisasi seperti nilai yang dikuantifikasi, PTN  beserta Subsistemnya seperti departemen semua distandarisasi, melalui akreditasi membuat mekanisme pendidikan sarat akan hegemony dan citra. Mirip seperti yang dikatakan oleh Herbert Marcus, era kapitalisme global memungkinkan penguasa untuk menciptakan citra, menyebarkan bahasa struktural dan memotong adanya pemahaman sejarah yang dapat memicu munculnya pemikiran yang dialektis. Hal demikian sangat memungkinkan penguasa membuat orang-orang larut kedalam sistem yang sedang berlangsung tanpa sadar iklim pendidikan sangat dominan dijadikan hanya sebagai penopang industri untuk menyediakan buruh murahan, bukan tenaga ahli ataupun ilmuan yang mampu memberikan solusi atas permasalahan bangsa ini. hal ini bisa kita amati mentalitas mahasiswa yang berorientasi gelar daripada proses yang membuat dirinya berkualitas. Serta institusi pendidikan yang lebih senang menyerap kapital dari pada memberikan  manfaat di masyarakat. Akhirnya pendidikan kini hanya sebagai arena yang menciptakan manusia terasing dalam sistem kapitaisme ditengah globalisasi.  

Pendidikan tinggi yang terkooptasi oleh pasar perlu mengamalkan logika pasar pula. Ujud dan wujud investasi serta logika quality-based yang sewajarnya melatarbelakangi kompetisi dan perebutan akreditasi ditujukan untuk human capital. Relasi sosial yang membutuhkan logika pasar ini lalu yang termakhtubkan di serangkaian kebijakan neoliberalisasi sektor pendidikan, termasuk PTN-BH yang hari ini UNHAS bangga-banggakan. Konsekuensi PTN-BH bukan sekedar dramatisnya kenaikan UKT dan sewa aset (terutama sewa kantin mace-mace), namun juga ‘pemposisian’ lembaga kemahasiswaan dalam skema yang ‘jinak’ dan ramah akreditasi plus citra. Hal itu ditandai bagaimana kampus lewat tindakan non represifnya kemudian mengeluarkan sebuah aturan tentang organisasi kemahasiswaan yang pada dasarnya mengancam indenpendensi Lembaga kemahasiswaan. Harus dipahami PR Ormawa ini dibuat tidak terlepas dari pemantapan sistem, untuk  penyempurnaan dari status yang diperoleh Unhas saat ini yaitu PTNBH. Sekiranya kita telah bersepakat bahwa PTNBH merupakan sistem untuk agenda liberalisasi sektor pendidikan.
Pasca pengesahan dan diberlakukannya PR ORMAWA ini, beberapa lembaga mahasiswa telah mengalami tindakan tegas oleh pihak birokrasi kampus. Seperti yang dialami oleh salah seorang kawan yang tak ingin disebutkan namanya, ia mengaku bahwa lembaganya pernah didatangi oleh WR3 (Pak Cido) dan mengirimkan langsung surat yang berisi ancaman pembubaran organisasi jika tidak segera melakukan MUBES dan pergantian badan kepengurusan sebelum akhir tahun 2018. Kejadian tersebut merupakan bagian kecil dari ancaman bagi lembaga-lembaga mahasiswa yang tidak mau tunduk dan ikut aturan. Hal tersebut harusnya tidak terjadi, di mana seharusnya lembaga mahasiswa memiliki kedudukan sebagai mitra kritis kampus yang diberikan ruang untuk beraktivitas dan berkreativitas bagi pengembangan diri dan intelektual mahasiswa.
Hal serupa nyaris dilakukan oleh WR3 yang baru, yaitu Pak Arsunan yang akrab dipanggil prof Cunan. Diawal masa jabatannya setelah menggantikan Pak Cido, ia telah disibukkan oleh usahanya dalam membentuk BEM-U sebagai suatu mekanisme yang diatur dalam PR ORMAWA. Setelah terbentuknya BEM-U yang diusungnya, tentu akan membantu dan mempermudah aktivitasnya dalam mengontrol lembaga-lembaga mahasiswa yang ada di kampus. 

Hari ini, , implementasi dari PR ORMAWA sudah secara terang-terangan mengusik kedudukan lembaga-lembaga mahasiswa yang ada di kampus. Hal itu dibuktikan dengan adanya beberapa Lembaga kemahasiswaan seperti Bem kema Pertanian Unhas yang tidak memberikan surat pernyataan terkait sikap menerima Aturan organisasi kemahasiswaan dengan berbagai analisis persoalan yang dilihat dari motif dihadirkan sampai disahkannya aturan Ormawa. Ternyata hal tersebut menjadi boomerang bagi bem kema Pertanian Unhas Pasalnya, setelah keluarnya pernyataan dan surat penegasan terkait penolakan aturan rektor tentang Organisasi Kemahasiswaan,sejak itu pula pihak Fakultas yang di isi oleh para Stake Holder tidak lagi memberikan penjaminan dan pemberian dalam bentuk fasilitas kampus serta hal yang sifatnya administratif karena dinilai bahwa bem Kema Pertanian Unhas tidak ingin mengikuti aturan rektor. Hal itu pula dirasakan oleh beberapa himpunan yang ada di Fakultas Pertanian yang tidak mendapatkan izin kegiatan dan fasilitas yang ada difakultas seperti peminjaman ruangan, perizinan  kegiatan dan rekomendasi berupa persetujuan kegiatan. Dan anehnya lagi seketika itu pula, para pemangku kepentingan ditingkat fakultas selalu menggiring kepada pewacanaan untuk menerima Aturan Ormawa ini dan dibumbui pula dengan Konteks BEM Universitas.

Hal ini sangatlah ironis. Terutama ketika kita mengingat kembali bahwa kampus adalah ruang dimana gagasan diciptakan. Marx dalam teks Fragment on Machine mendirikan suatu konsep “kecerdasan umum” atau general intellect. Marx bermaksud menjelaskan general intellect sebagai seperangkat pengetahuan, kompetensi, kemampuan linguistik dan cara-cara melakukan sesuatu dalam masyarakat, namun semakin tersedia dalam takar yang berbeda-beda banyak kurangnya di “setiap orang”. Dan ini terjadi apabila aktivitas intelektual tersebut menjadi the true mainspring of the production of wealth (menjadi dorongan utama dalam produksi kekayaan).

General Intellect atau kecerdasan umum yang dimaksudkan Marx, diterjemahkan oleh Boutang sebagai modalitas intelektual. Institusi pendidikan hari ini mengkomodifikasikan modal intelektual ini. Semakin modal intelektual tersebut bersesuaian dengan kualifikasi pasar, semakin mahal biaya yang perlu dibayar dan (tentunya) semakin sempit akan akses tersebut. Kampus hari ini mereplikasi sifat dan karakteristik pabrik yang market oriented. Proses belajar-mengajar bukan lagi ruang kritis, melainkan proses ‘produksi’ nilai intelektual yang punya nilai-guna dan nilai-tukar di dalam pasar. Di titik ini, mahasiswa menjadi subjek yang paradoks, dimana bekerja di kampus layaknya buruh namun juga sekaligus ‘perantara’ nilai intelektual yang tidak dibayar (sebaliknya malah membayar) oleh pasar. Pemikiran dan tindakan kritis yang mengkritisi kampus dan embel-embelnya akan dicap sebagai sebuah gerakan radikal yang keberadaannya harus dibasmi dari kampus. Bagi yang suka menyuarakan pendapat lepas, baik di jalanan atau pun di atas kertas takkan pernah lepas dari dikte kampus. Di bawah kontrol birokrasi, kampus tak lagi demokratis. Kampus akan berubah jadi semakin represif, di mana akan banyak korban berdarah di kampus yang merah ini. Tak akan ada lagi istilah Gerakan Mahasiswa karena semua berada dibawah kontrol yang ketat. Pada waktunya, setiap lembaga mahasiswa akan diarahkan sebagai wadah pembentukan karakter mahasiswa yang berjiwa kompetitif saja, kreatif dan inovatif dengan fikiran yang seragam berdasarkan kurikulum hafalan, di mana hal itu tidaklah sepenuhnya salah, tapi seperti sebuah kalimat yang mungkin saja pernah kita dengar “memaksa orang untuk kritis adalah tidak kritis sama sekali”, maka kampus tak sepatutnya memaksakan hal tersebut.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Comments

Recent

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Cari Blog Ini

Pages - Menu