“Lahan dan Pangan; Seni Penghidupan yang Direduksi Omnibus Law”
Oleh : Kementrian Luar Negeri BEM KEMA FAPERTA UNHAS
Omnibus
Law Rancangan Undang-undang Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka) merupakan alat pemerintah
untuk mendapatkan investasi asing melalui cara-cara kolonial. RUU Cilaka juga
mengembalikan politik pertanahan nasional ke zaman kolonial karena semangatnya
sama dengan ketentuan dalam Agrarische Wet
1870. Kedua aturan tersebut sama-sama berambisi untuk mempermudah pembukaan
lahan sebanyak-banyaknya untuk investasi asing dengan merampas hak atas tanah
dan ruang kelola masyarakat adat dan lokal. Formalisme hukum yang kuat dalam
RUU Cilaka menghidupkan kembali semangat domein verklaring khas aturan kolonial.
Masyarakat kehilangan hak partisipasi dan jalur upaya hukum untuk mempertahankan
tanah yang mereka kuasai.
Terlebih,
guna memuluskan RUU Cilaka, Presiden Joko Widodo meminta kepada Kejaksaan RI dan
memerintahkan aparat keamanan Kepolisian Republik Indonesia serta Badan
Intelijen Negara (BIN) untuk mendukung dan mengantisipasi ancaman aturan ini.
Penggunaan alat negara seperti ini menyerupai kerja Kepolisian kolonial Hindia
Belanda yang ditugaskan memata-matai, menangkap, dan menyiksa rakyat saat itu.
Kegagalan
pemerintah dalam menjalankan program dan kebijakannya tidak perlu ditutupi dengan
membuat regulasi baru. Apalagi, regulasi tersebut adalah pesanan yang akan
mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara baik rakyatnya maupun kelestarian
lingkungannya.
Sejarah
telah membuktikan bahwa nafsu menggenjot keuntungan kerap berimplikasi pada ongkos
lingkungan dan kesehatan masyarakat jangka panjang. Kebakaran hutan di Kalimantan
dan Sumatera, banjir dan gedung ambruk Jakarta, lubang tambang yang menganga di
seluruh nusantara, kekeringan di Jawa Barat dan Nusa Tenggara, dan polusi udara
yang menyesakkan semua adalah pembelajaran bagi kita untuk tidak lupa menghitung
ongkos lingkungan dalam pembangunan. Tetapi pemerintah malah abai terhadap
ongkos lingkungan dengan merumuskan RUU Cilaka.
Berikut
beberapa ketentuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang akan
diubah RUU Cilaka: berkurangnya instrumen perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, dihapuskannya izin lingkungan, dihapuskannya sanksi pidana
untuk pelanggaran administrasi, dan dibatasinya pelibatan masyarakat.
Pertama, RUU Cilaka berwacana mengubah sistem perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup yang semula wajib AMDAL, menjadi peraturan
berbasis risiko (risk-based regulation)
yang akan menghilangkan kajian dampak lingkungan atas kegiatan/proyek di suatu
lokasi. Padahal, hal itu tidak akan mungkin dilakukan karena memerlukan data
yang sangat banyak. Sementara, inventarisasi lingkungan hidup, Kajian Lingkungan
Hidup Strategis (KLHS), dan RDTR belum siap untuk diaplikasikan dalam sistem
baru tersebut. Berkaca pada realitas, dari 514 kabupaten/kota di Indonesia,
hanya 41 kabupaten/kota yang memiliki RDTR.
Kedua, penghapusan izin lingkungan akan menyulitkan
pengawasan, menghilangkan pula ruang keberatan dan upaya hukum yang selama ini
menjadi checks & balances keputusan-keputusan
lingkungan, dan mereduksi secara signifikan kesempatan masyarakat
memperjuangkan haknya (termasuk mewakili lingkungan) dengan gugatan perizinan.
Ketiga, dihapuskannya sanksi pidana untuk pelanggaran
administrasi juga akan meningkatkan kerentanan terhadap bencana karena
pelanggaran hanya mendapatkan sanksi administrasi. Sedangkan, ketika terjadi ketikdakpatuhan
terhadap sanksi administrasi tersebut yang berpotensi memperparah kerusakan
atau pencemaran atau terjadi pengulangan pelanggaran administrasi, tidak dapat
ditegakan menggunakan sanksi pidana, seperti pasal 100 UU 32/2009. Keempat , dibatasinya
pelibatan masyarakat berisiko mengabaikan kearifan lokal yang dapat menjaga kelestarian
lingkungan dimiliki masyarakat terdampak/adat/yang berkepentingan.
Selain
kajian lingkungan juga terdapat beberapa kajian khusus dalam kacamata
keprofesian (pertanian) yang dilakukan oleh kementrian luar negeri BEM KEMA FAPERTA
UNHAS seperti pengadaan lahan dan produksi pangan. Berikut bebarapa kajian
materil tentang lahan dan kegiatan hulu hilir pertanian dalam omnibus law atau omnibus bill:
·
Pasal 1 Ayat 7
UU Pangan No.18 tahun 2012 dirubah menjadi Ketersediaan Pangan adalah kondisi
tersedianya Pangan dari hasil produksi dalam negeri, Cadangan Pangan Nasional,
dan Impor Pangan. Padahal sebelumnya ketentuan impor hanya diperbolehkan
apabila hasil produksi dan cadangan nasional tidak bisa memenuhi kebutuhan.
·
Pasal 14
dirubah untuk mendukung penuh posisi impor yang disetarakan dengan produksi
dalam negeri .
·
Pasal 30
dirubah menjadi Kecukupan kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan
pemerintah berasal dari produksi dalam negeri dan melalui impor. Padahal di UU
Perlindungan Petani tahun 2013, kegiatan impor dilarang kecuali dalam kondisi
tertentu. Omnibus law mendorong liberalisasi impor secara terang-terangan.
·
Pasal 36
dirubah menjadi Impor Pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Ayat (2) Impor Pangan Pokok dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan
cadangan pangan di dalam negeri.
Pasal 39 dirubah berbunyi Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan dan peraturan
Impor Pangan dalam rangka keberlanjutan usaha tani. Sebelumnya berbunyi
Pemerintah menetapkan kebijakan dan peraturan Impor Pangan yang tidak berdampak
negatif terhadap keberlanjutan usaha tani, peningkatan produksi, kesejahteraan
Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil.
Pasal ini berimplikasi pada matinya
petani-petani
tanaman pangan dan jatuhnya harga jual dilevel petani karena dibombardir oleh
bebasnya impor masuk ke Indonesia.
·
Pasal 133
dirubah dimana masa hukuman bagi pelaku penimbunan pangan diterapkan apabila
tidak berhasil membayar denda maksimum Rp100 miliar. Di UU sebelumnya
disebutkan bahwa sanksi pidana menjadi opsi pertama sebelum denda
administratif.
Lahan
atau ruang juga menjadi hal menarik dalam omnibus
law, karena orientasi awal omnibus
law versi kabinet Indonesia maju memang membuka lebar arus investasi, dalam
prosesi investasi lahan adalah wahana utama untuk melanggengkan ekspansi, hal
ini sesuai dengan pernyataan Henri Lafebvre, bahwa “sesungguhnya tidak ada ruang yang sepenuhnya ideal karena secara
spasial, dalam masyarakat kapitalis modern ruang merupakan arena pertarungan
yang tidak akan pernah selesai untuk diperebutkan”. Berikut kajian materil
UU No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum:
·
Pasal 8 (terdapat penambahan ayat) :
Dalam hal objek pengadaan tanah masuk dalam kawasan
hutan, tanah kas desa, tanah wakaf dan/atau tanah aset Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, status tanahnya berubah pada saat
penetapan lokasi. Perubahan status tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
berubah menjadi kawasan yang sesuai dengan peruntukannya pada saat penetapan
lokasi. Perubahan obyek pengadaan tanah yang masuk dalam kawasan hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) khususnya untuk proyek prioritas Pemerintah
Pusat, dilakukan melalui mekanisme: a).
pelepasan Kawasan Hutan, dalam hal pengadaan tanah dilakukan oleh instansi;
atau b). pelepasan Kawasan Hutan atau Pinjam Pakai Kawasan Hutan, dalam hal
pengadaan tanah dilakukan oleh swasta. Penambahan ini memberikan perangkat
lengkap bagi pihak swasta untuk melaksanakan pengadaan tanah, bila dibaca
dengan langkah mundur. Pengadaan tanah oleh swasta diberikan perangkat untuk
dapat melaksanakan perubahan obyek pengadaan
tanah yang masuk dalam kawasan hutan,
dan juga penetapan lokasi. Swasta diberikan ruang yang luas dan kewenangan
serta kemudahan untuk merubah status lahan dan penetapan lokasi sesuai
keinginan dan kepentingannya melalui pelepasan kawasan.
·
Pasal 10 ayat (1) Tanah untuk
Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) digunakan untuk
pembangunan: Huruf (S) Kawasan Industri Hulu dan Hilir Minyak dan Gas, (T) Kawasan Ekonomi Khusus, (U) Kawasan Industri, (V) Kawasan Pariwisata dan (W)
Kawasan lainnya. Dari huruf (T-W)
terdapat penambahan redaksi “yang diprakarsai oleh pemerintah pusat, PemDa,
BUMN/D” (Hlm, 616).
·
Pasal 10 ayat (2) Kawasan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf w, ditetapkan dengan Peraturan Presiden. (Hlm, 616).
Nampaknya pemerintah hendak mendorong masifnya pembangunan minyak dan gas. Adanya
perluasan sektor bisnis bagi investor. Ini berarti ada penambahan untuk apa
yang disebut “kepentingan umum” contoh, pariwisata. Masuknya pariwisata menjadi
kepentingan umum memungkinkan bagi investor untuk membangun infrastruktur
pariwisata seperti bisnis penginapan dan kuliner, serta bisnis-bisnis hiburan
lainnya. Ayat 2, mengisyaratkan bakal ada penambahan sektor-sektor lain yang
disebut kepentingan umum, dalam PP yang akan dibuat oleh presiden. Ke depan,
kita mungkin akan mendengar bahwa pembangunan lapangan golf, sirkuit balap, dan
bahkan tambang batubara sebagai kepentingan umum. Bertambahnya sektor kepentingan umum dalam OL
merupakan awal mula dari masifnya perampasan lahan rakyat dengan dalih
kepentingan umum.
·
Pasal 19 tentang
konsultasi publik Pada ayat 1
ditambahkan poin-poin berikut:
a.
Pihak yang
Berhak;
b.
Pengelola; dan
c.
Pengguna Barang
Milik Negara/Barang Milik Daerah.
Terdapat penambahan
ayat :
7)
Dalam hal Pihak
yang Berhak, pengelola, dan pengguna Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah
tidak menghadiri konsultasi publik setelah diundang 3 (tiga) kali secara patut,
dianggap menyetujui rencana pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
8)
Ketentuan lebih
lanjut mengenai Konsultasi Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam
Pasal 19 disisipi Pasal 19 A-C, namun pasal
19 C bermasalah: Setelah penetapan lokasi pengadaan tanah tidak
diperlukan lagi persyaratan:
a.
kesesuaian
kegiatan pemanfaatan ruang;
b.
pertimbangan
teknis;
c.
di luar kawasan
hutan dan di luar kawasan pertambangan;
d.
di luar kawasan
gambut/sepadan pantai; dan
e. analisis mengenai dampak lingkungan hidup. (Hlm. 619)
Pada ayat (1), masuknya
pengelola dan pengguna barang milik negara diadakan untuk mengakomodir pembentukan Bank Tanah. Kemudian Pada ayat (7) merupakan bentuk paksaan terhadap warga yang tidak
setujuterhadap rencana pembangunan dengan dalih kepentingan umum. Karena warga
tidak menghadiri konsultasi publik selama tiga kali, dianggap menyetujui
rencana pembangunan. Sedangkan konsultasi publik yang seringkali terjadi bukan
dialog dengan warga pemilik tanah (apakah mereka setuju
dengan rencana pembangunan),
namun sifatnya sosialisasi agar warga menerima rencana pembangunan untuk
kepentingan umum didaerahnya.
Semua mekanisme pengadaan lahan diawali dengan semangat memperlancar
investasi. Sehingga perangkat perangkat mitigasi yang dianggap memperlambat itu semua dihapuskan
dalam OL seperti, poinpoin yang disebut dalam pasal 19C tidak lagi diperlukan setelah
ijin lokasi dikeluarkan. Hal ini berpotensi meningkatkan korupsi di dalam tubuh
pemerintahan pusat yang berdampak pada kerugian lingkungan, juga tentu saja, merugikan penduduk setempat. Bayangkan sebuah skenario
seperti ini, seorang pengusaha datang ke sebuah wilayah yang menarik perhatiannya
untuk membangun pabrik tekstil. Ia hanya tinggal melakukan kordinasi dengan
pemerinah pusat untuk mengeluarkan ijin lokasi tanpa melakukan pertimbangan pertimbangan
tertentu. Satu-satunya yang pengusaha lakukan hanya benar-benar berkordinasi
dengan pemerintah pusat. Bukan pemerintah daerah, apalagi penduduk setempat. Selain
itu, pengadaan lahan berbasis pada RTRW, dimana RTRW yang digunakan dan
dianggap sah adalah RTRW yang disetujui atau dibuat oleh pemerintah pusat.
·
Pasal 24 ayat (1) Penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (6) atau Pasal 22 ayat (1) diberikan
untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk
jangka waktu 1 (satu) tahun.
Kendati dua regulasi tersebut bermasalah, namun dalam
OL semakin menguntungkan bagi pemerintah atau investor ketika proses
pembangunan mengalami kendala.
·
Pasal 36 ayat (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemberian Ganti
Kerugian dalam bentuk tanah pengganti, pemukiman kembali, kepemilikan saham,
atau bentuk lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
ini dapat menjadi ruang memungkinkan tafsir pemerintah
menjadi bebas dan adanya penambahanpenambahan baru karena ada diksi “bentuk
lainnya. Menciptakan banyak kerancuan dan tafsir sepihak.
·
Pasal 42 ayat (1) Dalam hal Pihak yang berhak menolak bentuk dan / atau
besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil musyawarah sebagaimana dimaksud dalam
pasal 37, atau putusan pengadilan negeri/ Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud
dalam pasal 38, ganti kerugian dititipkan di pengadilan negeri setempat. Pasal
42 juga menambahkan angka (3) yang berbunyi: Pengadilan
negeri paling lama dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja wajib
menerima penitipan ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2).
Merupakan bentuk konsinyasi yang sangat menguntungkan penguasa
atau investor dikarenakan penambahan angka (3) dalam pasal 42 memaksa
pengadilan untuk wajib menerima penitipan ganti kerugian yang artinya secara
tidak langsung menghapus hak atas tanah oleh yang berhak sebagaimana dalam
pasal 43. Dengan demikian, dengan kosongnya hak atas tanah maka pembangunan
dapat langsung dilaksanakan tanpa perlu lagi persetujuan dari pemilik lahan.
Pihak pemrakarsa dapat dengan langsung melaksanakan pembangunan tanpa harus
menunggu keputusan pengadilan terkait bentuk dan besaran ganti kerugian. Nilai
ganti kerugian dapat dilakukan dengan semena-mena. Penambahan ini memperkuat instrumen
perampasan lahan/tanah dan membuka ruang konflik agrarian yang semakin luas.
Dampaknya rakyat pemilik lahan menjadi semakin rentan.
Berdasarkan kajian diatas dapat disimpulkan bahwa omnibus law jelas bukan regulasi yang
menjanjikan kesejahteraan rakyat. Sudah waktunya menyudahi wacana omnibus law.
Dan mulai berbicara soal upaya pembasisan disemua lini sektor, menggaungkan
kembali protes pada penolakan omnibus law. Daripada omnibus, mari kita
rencanakan pendudukan parlemen.
“Setiap Tempat Adalah Medan Perang Dan Setiap Waktu Adalah Perjuangan”
-Imam Khomeini
JAYALAH DIKAU JAYA PERTANIAN TERCINTA!!!
0 komentar:
Posting Komentar