Blog Resmi Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin

Laman

Senin, 16 Maret 2020

Kajian Omnibus Law BEM KEMA FAPERTA UNHAS

“Lahan dan Pangan;  Seni Penghidupan yang Direduksi Omnibus Law” 
Oleh : Kementrian Luar Negeri BEM KEMA FAPERTA UNHAS



Omnibus Law Rancangan Undang-undang Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka) merupakan alat pemerintah untuk mendapatkan investasi asing melalui cara-cara kolonial. RUU Cilaka juga mengembalikan politik pertanahan nasional ke zaman kolonial karena semangatnya sama dengan ketentuan dalam Agrarische Wet 1870. Kedua aturan tersebut sama-sama berambisi untuk mempermudah pembukaan lahan sebanyak-banyaknya untuk investasi asing dengan merampas hak atas tanah dan ruang kelola masyarakat adat dan lokal. Formalisme hukum yang kuat dalam RUU Cilaka menghidupkan kembali semangat domein verklaring khas aturan kolonial. Masyarakat kehilangan hak partisipasi dan jalur upaya hukum untuk mempertahankan tanah yang mereka kuasai.
Terlebih, guna memuluskan RUU Cilaka, Presiden Joko Widodo meminta kepada Kejaksaan RI dan memerintahkan aparat keamanan Kepolisian Republik Indonesia serta Badan Intelijen Negara (BIN) untuk mendukung dan mengantisipasi ancaman aturan ini. Penggunaan alat negara seperti ini menyerupai kerja Kepolisian kolonial Hindia Belanda yang ditugaskan memata-matai, menangkap, dan menyiksa rakyat saat itu.

Kegagalan pemerintah dalam menjalankan program dan kebijakannya tidak perlu ditutupi dengan membuat regulasi baru. Apalagi, regulasi tersebut adalah pesanan yang akan mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara baik rakyatnya maupun kelestarian lingkungannya.
Sejarah telah membuktikan bahwa nafsu menggenjot keuntungan kerap berimplikasi pada ongkos lingkungan dan kesehatan masyarakat jangka panjang. Kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera, banjir dan gedung ambruk Jakarta, lubang tambang yang menganga di seluruh nusantara, kekeringan di Jawa Barat dan Nusa Tenggara, dan polusi udara yang menyesakkan semua adalah pembelajaran bagi kita untuk tidak lupa menghitung ongkos lingkungan dalam pembangunan. Tetapi pemerintah malah abai terhadap ongkos lingkungan dengan merumuskan RUU Cilaka.
Berikut beberapa ketentuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang akan diubah RUU Cilaka: berkurangnya instrumen perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dihapuskannya izin lingkungan, dihapuskannya sanksi pidana untuk pelanggaran administrasi, dan dibatasinya pelibatan masyarakat.

Pertama, RUU Cilaka berwacana mengubah sistem perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang semula wajib AMDAL, menjadi peraturan berbasis risiko (risk-based regulation) yang akan menghilangkan kajian dampak lingkungan atas kegiatan/proyek di suatu lokasi. Padahal, hal itu tidak akan mungkin dilakukan karena memerlukan data yang sangat banyak. Sementara, inventarisasi lingkungan hidup, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), dan RDTR belum siap untuk diaplikasikan dalam sistem baru tersebut. Berkaca pada realitas, dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, hanya 41 kabupaten/kota yang memiliki RDTR.

Kedua, penghapusan izin lingkungan akan menyulitkan pengawasan, menghilangkan pula ruang keberatan dan upaya hukum yang selama ini menjadi checks & balances keputusan-keputusan lingkungan, dan mereduksi secara signifikan kesempatan masyarakat memperjuangkan haknya (termasuk mewakili lingkungan) dengan gugatan perizinan. 

Ketiga, dihapuskannya sanksi pidana untuk pelanggaran administrasi juga akan meningkatkan kerentanan terhadap bencana karena pelanggaran hanya mendapatkan sanksi administrasi. Sedangkan, ketika terjadi ketikdakpatuhan terhadap sanksi administrasi tersebut yang berpotensi memperparah kerusakan atau pencemaran atau terjadi pengulangan pelanggaran administrasi, tidak dapat ditegakan menggunakan sanksi pidana, seperti pasal 100 UU 32/2009. Keempat , dibatasinya pelibatan masyarakat berisiko mengabaikan kearifan lokal yang dapat menjaga kelestarian lingkungan dimiliki masyarakat terdampak/adat/yang berkepentingan.

Selain kajian lingkungan juga terdapat beberapa kajian khusus dalam kacamata keprofesian (pertanian) yang dilakukan oleh kementrian luar negeri BEM KEMA FAPERTA UNHAS seperti pengadaan lahan dan produksi pangan. Berikut bebarapa kajian materil tentang lahan dan kegiatan hulu hilir pertanian dalam omnibus law atau omnibus bill:

·         Pasal 1 Ayat 7 UU Pangan No.18 tahun 2012 dirubah menjadi Ketersediaan Pangan adalah kondisi tersedianya Pangan dari hasil produksi dalam negeri, Cadangan Pangan Nasional, dan Impor Pangan. Padahal sebelumnya ketentuan impor hanya diperbolehkan apabila hasil produksi dan cadangan nasional tidak bisa memenuhi kebutuhan.  

·         Pasal 14 dirubah untuk mendukung penuh posisi impor yang disetarakan dengan produksi dalam negeri .

·         Pasal 30 dirubah menjadi Kecukupan kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan pemerintah berasal dari produksi dalam negeri dan melalui impor. Padahal di UU Perlindungan Petani tahun 2013, kegiatan impor dilarang kecuali dalam kondisi tertentu. Omnibus law mendorong liberalisasi impor secara terang-terangan.  

·         Pasal 36 dirubah menjadi Impor Pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Ayat (2) Impor Pangan Pokok dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan cadangan pangan di dalam negeri. 

      Pasal 39 dirubah berbunyi Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan dan peraturan Impor Pangan     dalam rangka keberlanjutan usaha tani. Sebelumnya berbunyi Pemerintah menetapkan kebijakan dan peraturan Impor Pangan yang tidak berdampak negatif terhadap keberlanjutan usaha tani, peningkatan produksi, kesejahteraan Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil. Pasal ini berimplikasi pada matinya
petani-petani tanaman pangan dan jatuhnya harga jual dilevel petani karena dibombardir oleh bebasnya impor masuk ke Indonesia.  

·   Pasal 133 dirubah dimana masa hukuman bagi pelaku penimbunan pangan diterapkan apabila tidak berhasil membayar denda maksimum Rp100 miliar. Di UU sebelumnya disebutkan bahwa sanksi pidana menjadi opsi pertama sebelum denda administratif. 




Lahan atau ruang juga menjadi hal menarik dalam omnibus law, karena orientasi awal omnibus law versi kabinet Indonesia maju memang membuka lebar arus investasi, dalam prosesi investasi lahan adalah wahana utama untuk melanggengkan ekspansi, hal ini sesuai dengan pernyataan Henri Lafebvre, bahwa “sesungguhnya tidak ada ruang yang sepenuhnya ideal karena secara spasial, dalam masyarakat kapitalis modern ruang merupakan arena pertarungan yang tidak akan pernah selesai untuk diperebutkan”. Berikut kajian materil UU No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum:
·         Pasal 8 (terdapat penambahan ayat) :
Dalam hal objek pengadaan tanah masuk dalam kawasan hutan, tanah kas desa, tanah wakaf dan/atau tanah aset Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik  Daerah, status tanahnya berubah pada saat penetapan lokasi. Perubahan status tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berubah menjadi kawasan yang sesuai dengan peruntukannya pada saat penetapan lokasi. Perubahan obyek pengadaan tanah yang masuk dalam kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) khususnya untuk proyek prioritas Pemerintah Pusat, dilakukan melalui mekanisme:  a). pelepasan Kawasan Hutan, dalam hal pengadaan tanah dilakukan oleh instansi; atau b). pelepasan Kawasan Hutan atau Pinjam Pakai Kawasan Hutan, dalam hal pengadaan tanah dilakukan oleh swasta. Penambahan ini memberikan perangkat lengkap bagi pihak swasta untuk melaksanakan pengadaan tanah, bila dibaca dengan langkah mundur. Pengadaan tanah oleh swasta diberikan perangkat untuk dapat melaksanakan perubahan obyek pengadaan tanah yang masuk dalam kawasan hutan, dan juga penetapan lokasi. Swasta diberikan ruang yang luas dan kewenangan serta kemudahan untuk merubah status lahan dan penetapan lokasi sesuai keinginan dan kepentingannya melalui pelepasan kawasan.
·         Pasal 10 ayat (1)  Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) digunakan untuk pembangunan:  Huruf  (S) Kawasan Industri Hulu dan Hilir Minyak dan Gas, (T) Kawasan Ekonomi Khusus, (U) Kawasan Industri, (V) Kawasan Pariwisata dan (W) Kawasan lainnya. Dari huruf (T-W) terdapat penambahan redaksi “yang diprakarsai oleh pemerintah pusat, PemDa, BUMN/D” (Hlm, 616).
·         Pasal 10 ayat (2) Kawasan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf w, ditetapkan dengan Peraturan Presiden. (Hlm, 616).
Nampaknya pemerintah hendak mendorong  masifnya pembangunan minyak dan gas. Adanya perluasan sektor bisnis bagi investor. Ini berarti ada penambahan untuk apa yang disebut “kepentingan umum” contoh, pariwisata. Masuknya pariwisata menjadi kepentingan umum memungkinkan bagi investor untuk membangun infrastruktur pariwisata seperti bisnis penginapan dan kuliner, serta bisnis-bisnis hiburan lainnya. Ayat 2, mengisyaratkan bakal ada penambahan sektor-sektor lain yang disebut kepentingan umum, dalam PP yang akan dibuat oleh presiden. Ke depan, kita mungkin akan mendengar bahwa pembangunan lapangan golf, sirkuit balap, dan bahkan tambang batubara sebagai kepentingan umum.  Bertambahnya sektor kepentingan umum dalam OL merupakan awal mula dari masifnya perampasan lahan rakyat dengan dalih kepentingan umum.
·         Pasal 19 tentang konsultasi publik Pada ayat 1 ditambahkan poin-poin berikut:
a.    Pihak yang Berhak; 
b.    Pengelola; dan
c.    Pengguna Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah.
Terdapat penambahan ayat :
7)      Dalam hal Pihak yang Berhak, pengelola, dan pengguna Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah tidak menghadiri konsultasi publik setelah diundang 3 (tiga) kali secara patut, dianggap menyetujui rencana pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
8)      Ketentuan lebih lanjut mengenai Konsultasi Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam Pasal 19 disisipi Pasal 19 A-C, namun pasal 19 C bermasalah:  Setelah penetapan lokasi pengadaan tanah tidak diperlukan lagi persyaratan: 
a.    kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang; 
b.    pertimbangan teknis; 
c.    di luar kawasan hutan dan di luar kawasan pertambangan; 
d.    di luar kawasan gambut/sepadan pantai; dan 
e.    analisis mengenai dampak lingkungan hidup. (Hlm. 619)
Pada ayat (1), masuknya pengelola dan pengguna barang milik negara diadakan untuk mengakomodir pembentukan Bank Tanah. Kemudian Pada ayat (7) merupakan bentuk paksaan terhadap warga yang tidak setujuterhadap rencana pembangunan dengan dalih kepentingan umum. Karena warga tidak menghadiri konsultasi publik selama tiga kali, dianggap menyetujui rencana pembangunan. Sedangkan konsultasi publik yang seringkali terjadi bukan dialog dengan warga pemilik tanah (apakah mereka setuju dengan rencana pembangunan), namun sifatnya sosialisasi agar warga menerima rencana pembangunan untuk kepentingan umum didaerahnya.
Semua mekanisme pengadaan lahan diawali dengan semangat memperlancar investasi. Sehingga perangkat perangkat mitigasi yang  dianggap memperlambat itu semua dihapuskan dalam OL seperti, poinpoin yang disebut dalam pasal 19C tidak lagi diperlukan setelah ijin lokasi dikeluarkan. Hal ini berpotensi meningkatkan korupsi di dalam tubuh pemerintahan pusat yang berdampak pada kerugian lingkungan, juga tentu
saja, merugikan penduduk setempat. Bayangkan sebuah skenario seperti ini, seorang pengusaha datang ke sebuah wilayah yang menarik perhatiannya untuk membangun pabrik tekstil. Ia hanya tinggal melakukan kordinasi dengan pemerinah pusat untuk mengeluarkan ijin lokasi tanpa melakukan pertimbangan pertimbangan tertentu. Satu-satunya yang pengusaha lakukan hanya benar-benar berkordinasi dengan pemerintah pusat. Bukan pemerintah daerah, apalagi penduduk setempat. Selain itu, pengadaan lahan berbasis pada RTRW, dimana RTRW yang digunakan dan dianggap sah adalah RTRW yang disetujui atau dibuat oleh pemerintah pusat.  

·         Pasal 24 ayat (1) Penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (6) atau Pasal 22 ayat (1) diberikan untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. 

Kendati dua regulasi tersebut bermasalah, namun dalam OL semakin menguntungkan bagi pemerintah atau investor ketika proses pembangunan mengalami kendala. 

·         Pasal 36 ayat (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemberian Ganti Kerugian dalam bentuk tanah pengganti, pemukiman kembali, kepemilikan saham, atau bentuk lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
 
ini dapat menjadi ruang memungkinkan tafsir pemerintah menjadi bebas dan adanya penambahanpenambahan baru karena ada diksi “bentuk lainnya. Menciptakan banyak kerancuan dan tafsir sepihak. 

·         Pasal 42 ayat (1) Dalam hal Pihak yang berhak menolak bentuk dan / atau besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil musyawarah sebagaimana dimaksud dalam pasal 37, atau putusan pengadilan negeri/ Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam pasal 38, ganti kerugian dititipkan di pengadilan negeri setempat. Pasal 42 juga menambahkan angka (3) yang berbunyi: Pengadilan negeri paling lama dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja wajib menerima penitipan ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
 
Merupakan bentuk konsinyasi yang sangat menguntungkan penguasa atau investor dikarenakan penambahan angka (3) dalam pasal 42 memaksa pengadilan untuk wajib menerima penitipan ganti kerugian yang artinya secara tidak langsung menghapus hak atas tanah oleh yang berhak sebagaimana dalam pasal 43. Dengan demikian, dengan kosongnya hak atas tanah maka pembangunan dapat langsung dilaksanakan tanpa perlu lagi persetujuan dari pemilik lahan. Pihak pemrakarsa dapat dengan langsung melaksanakan pembangunan tanpa harus menunggu keputusan pengadilan terkait bentuk dan besaran ganti kerugian. Nilai ganti kerugian dapat dilakukan dengan semena-mena. Penambahan ini memperkuat instrumen perampasan lahan/tanah dan membuka ruang konflik agrarian yang semakin luas. Dampaknya rakyat pemilik lahan menjadi semakin rentan.

Berdasarkan kajian diatas dapat disimpulkan bahwa omnibus law jelas bukan regulasi yang menjanjikan kesejahteraan rakyat. Sudah waktunya menyudahi wacana omnibus law. Dan mulai berbicara soal upaya pembasisan disemua lini sektor, menggaungkan kembali protes pada penolakan omnibus law. Daripada omnibus, mari kita rencanakan pendudukan parlemen.

Setiap Tempat Adalah Medan Perang Dan Setiap Waktu Adalah Perjuangan
                                                                                                                      -Imam Khomeini

JAYALAH DIKAU JAYA PERTANIAN TERCINTA!!!
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Comments

Recent

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Cari Blog Ini

Pages - Menu